Suara Ajeng Widawati (31) tiba-tiba bergetar, sedikit terharu.
Ia mengatakan sudah belasan kali menjalani usaha, namun selalu gagal. Beberapa
usaha yang pernah dijalani seperti berjualan teh manis, coklat koin, nasi
kuning, hingga es bonbon tak berjalan mulus. Ia juga pernah coba bekerja
sebagai penjaga toko pakaian di Depok, namun hanya bertahan tiga bulan.
Suara Ajeng Widawati (31) tiba-tiba bergetar, sedikit terharu.
Ia mengatakan sudah belasan kali menjalani usaha, namun selalu gagal. Beberapa
usaha yang pernah dijalani seperti berjualan teh manis, coklat koin, nasi
kuning, hingga es bonbon tak berjalan mulus. Ia juga pernah coba bekerja
sebagai penjaga toko pakaian di Depok, namun hanya bertahan tiga bulan.
Selama
25 tahun saya tidak tahu kalau terkena cerebral palsy,"
sebutnya.
Cerebral palsy merupakan kelumpuhan
atau kelemahan anggota gerak tubuh yang disebabkan oleh kerusakan jaringan
otak. Kerusakan jaringan otak ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti
cedera parah di kepala atau infeksi pada otak saat bayi. Gejala cerebral
palsy bisa diketahui
pada tiga tahun pertama kehidupan seseorang. Hingga saat ini belum ada obat
untuk menyembuhkan cerebral palsy.
Perempuan
kelahiran Garut, 5 Oktober 1986, ini mengatakan bahwa pada umur delapan bulan
dirinya pernah jatuh dan mengalami benturan keras di kepala dan tulang
belakang. Tiga hari setelah jatuh ia mengalami panas tinggi hingga
kejang-kejang. Ia mengatakan dirinya sempat kritis dan hampir meninggal dunia.
"Kemungkinan
saya terkena cerebral palsy karena jatuh saat bayi. Jadi, bukan
karena bawaan lahir, bukan karena keturunan, dan bukan karena infeksi,"
ujarnya.
Hidup
dengan cerebral palsy membuat Ajeng kerap mendapat perlakuan
diskriminatif dari orang di sekitarnya. Ia jarang diajak bermain oleh
teman-teman di sekolah dasar karena dianggap tak mampu mengikuti permainan.
Saat menduduki bangku SMA ia sering dikucilkan oleh teman-teman sekolah karena
tak ada yang mau satu kelompok dengannya.
"Jadi,
saya suka sendirian saat sekolah. Saya juga tidak pernah ikut pelajaran
olahraga," sebutnya.
Beruntung,
ia memiliki sosok ibu yang selalu memberi dukungan dan semangat padanya. Ia
juga dididik untuk hidup mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain.
Setelah lulus SMA ia mulai menjalani usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Jatuh Bangun
Usaha
pertama yang dijalani Ajeng yakni berjualan es teh manis di depan SD di wilayah
Garut. Seluruh modal usaha diberikan oleh orang tuanya. Bahan baku pembuatan es
teh manis diperoleh dari warung milik sang ibu. Secara total, ia mengeluarkan
modal sebesar Rp300 ribu untuk membuka usaha tersebut.
Anak
kedua dari empat bersaudara ini menjajakan es teh manis senilai Rp500 per
plastik. Pada awalnya usaha es teh manis sangat laris dan diserbu oleh
murid-murid SD. Namun, seiring berjalan waktu konsumen yang berbelanja mulai
berkurang karena bosan. Apalagi, saat libur panjang tiba maka ia kehilangan
konsumen. Usaha pertama Ajeng hanya berumur beberapa bulan.
"Setelah
usaha pertama gagal, kemudian saya ganti barang dagangan. Saya gonta-ganti
produk dagangan sampai beberapa kali. Sampai akhirnya saya benar-benar berhenti
jualan di depan SD," ujarnya.
Putusan
untuk berhenti berjualan di depan SD menjadi hal yang berat bagi Ajeng. Ia
merasa gagal dan frustrasi karena belasan kali usaha selalu gagal. Ia juga malu
kepada sang ibu karena belum bisa memberikan hasil usaha yang baik.
Satu-satunya usaha yang tersisa hanya bisnis jualan pulsa yang dirintis pada
2015.
Akhirnya,
pada tahun 2016 ia memutuskan untuk merantau ke Bekasi. Di tempat inilah ia
bertemu dan bergabung dengan komunitas disabilitas. Dalam suasana batin yang
jatuh tersebut ia kembali mendapat dukungan dan semangat dari teman-teman
disabilitas. Puncaknya, salah satu teman yang ia sapa Bude Paini mengajak
dirinya untuk mengikuti pelatihan Reach Independence and Sustainable
Entrepreneurship (RISE) yang digelar oleh Maybank Foundation di Islamic Center
Bekasi pada 8-10 November 2017.
"Pelatihan
ini menyadarkan saya bahwa menjalani usaha tidak semudah mengembalikkan telapak
tangan," sebutnya.
Ia
mengatakan dirinya mendapat banyak ilmu dari pelatihan RISE ini seperti cara
berdagang, pengetahuan pengelolaan keuangan usaha, strategi pemasaran, hingga
motivasi untuk terus berusaha. Ia juga mulai belajar memanfaatkan perkembangan
teknologi informasi untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
"Di
pelatihan RISE saya tahu bahwa ada ratusan penyandang disabilitas yang
seperjuangan dengan saya," ujarnya.
RISE
merupakan program pembinaan kewirausahaan dan keuangan berkelanjutan bagi para
penyandang disabilitas. Program ini bertujuan untuk membangun dan meningkatkan
kapabilitas usaha mikro-UKM sehingga dapat memberikan dampak positif bagi
komunitas di sekitar. Program ini meliputi pelatihan selama tiga hari dan
dilanjutkan program mentoring terstruktur selama tiga hingga enam
bulan.
Dari
program RISE yang dijalani, Ajeng berhasil meningkatkan pendapatan bisnis
jualan pulsa hingga lebih dari 10 kali lipat. Selain itu, ia mulai melakoni
bisnis baru sebagai reseller pakaian online.
Ia memiliki beberapa pemasok dari daerah Bandung, Tangerang, dan Depok. Produk
pakaian tersebut ia pasarkan ulang melalui media sosial, aplikasi perpesanan,
dan berbagai situs e-commerce. Di awal
memulai bisnis ia sudah mencatat pendapatan jutaan rupiah per bulan.
Konsumen tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, namun juga menjangkau Pulau Bali
dan Kalimantan.
Mimpi Membuka Butik
Tak
lama setelah menjalani pelatihan RISE, Ajeng terpaksa pulang ke kampung halaman
di Garut karena mendapat kabar sang ibu jatuh sakit. Operasional bisnis reseller pakaian online yang tengah naik daun harus
dipindahkan dari Bekasi ke Garut. Sang ibu berharap bisnis anaknya bisa terus
berkembang.
"Ibu
berpesan kepada saya untuk fokus mengembangkan bisnis," ucapnya.
Ia
mengatakan dirinya memiliki cita-cita untuk membuka butik sebagai pengembangan
bisnis. Hal itu karena ternyata banyak warga Garut yang tertarik membeli
pakaian melalui dirinya. Jika bisa membuka butik offlinemaka
warga Garut bisa mencoba produk-produk pakaian secara langsung. Ia juga bisa
memproduksi pakaian sesuai dengan permintaan pasar tanpa harus bergantung pada
stok supplier. Yang terpenting, ia bisa memenuhi
harapan orang tua untuk mengembangkan bisnis pakaian.
Pada
bulan Desember 2017 sang ibu menghembuskan nafas terakhir karena penyakit
kanker serviks yang diderita. Ini merupakan pukulan berat bagi Ajeng karena ibu
merupakan sosok yang selalu setia memberi dukungan pada dirinya. Apalagi, sang
ayah sudah sejak lama wafat. Kini ia tinggal bersama nenek dan seorang adik
yang masih sekolah. Kakak dan satu orang adiknya telah menikah. Ajeng sendiri
hingga kini masih belum menikah.
"Kepergian
mama membuat saya terpuruk, tapi saya ingat pesan mama untuk fokus berusaha.
Saya juga ingat pesan di pelatihan RISE bahwa membangun usaha itu merupakan
proses panjang," paparnya.
Hampir
satu tahun melakoni bisnis reseller pakaian online,
ia masih meniti jalan untuk menjadi pengusaha butik sukses. Jalan panjang
tersebut memang tidak mulus dan banyak aral melintang, namun ia yakin bisa
mencapai tujuan. Ia meyakini hasil tidak pernah ingkar janji terhadap proses.
https://www.wartaekonomi.co.id/read196256/meniti-jalan-jadi-pengusaha-butik-sukses.html
https://www.wartaekonomi.co.id/read196256/meniti-jalan-jadi-pengusaha-butik-sukses.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar